Komentar :
steve kanisius (02/05/2018 11:09)
Di makam ini warga dusun Tirip biasanya melakukan tradisi Njaruh. Njaruh adalah semacam slametan (selamatan) dengan membuat pagar bamboo di sekeliling makam Mbah Cinde Amoh dan melakukan kenduri. Warga dusun Tirip biasanya melakukan tradisi Njaruh sebagai ungkapan syukur atas terkabulnya doa mereka (misalnya, kesembuhan dari sakit).
Alkisah, Mbah Potro, seorang sosok yang sakti, memiliki 2 sapi dan 2 pedhet (anak sapi). Keempat sapi itu digembalakan di padang rumput, Salah satu anak sapi pergi entah ke mana -- tetapi kurang lebih mendekati makam yang tidak dikenal. Ketika kembali ke rumah, pedhet ini berkalung kain sutra merah yang indah. Mbah Potro heran, dari mana seekor pedhet bias mendapatkan kain sutra merah yang demikian indah itu. Tetapi ketika masuk kandang, kain itu lenyap begitu saja. Dari sinilah asal muasal kata CIndhe Amoh. CIndhe (KBBI cindai) adalah kain sutra yang indah, dengan motif berbunga-bunga. Dikatakan CIndhe Amoh karena kain sutra yang indah itu akhirnya menghilang (amoh). Maka makam itu sampai sekarang dikenal dengan nama Cindhe Amon.
Konon Cindhe Amoh adalah keturunan bangsawan dari Keraton Solo. Cindhe Amoh memiliki 4 saudara dan mereka dimakamkan di tempat-tempat yang berbeda.
Cindhe Amoh ini terletak di sebuah makam di Dusun Tirip. Nama Dusun Tirip itu sendiri memiliki sejarahnya sendiri. Ada seorang ksatria yang tinggal di situ. Suatu ketika, karena merasakan kesulitan hidup, ia pergi meninggalkan dusun itu ... pergi ke Malang. Kalau tidak salah waktu itu masih kerajaan Singosari. Nah setelah sekian lama pergi, sang kesatria datang kembali ke dusun tersebut. Jadi dusun yang sebelumnya mati (karena ditinggal pergi), sekarang hidup kembali (urip), setelah kesatria itu datang kembali ke dusun tersebut.