Komentar :
Bernard Gep (01/03/2018 02:15)
Monumen yang berlokasi di pertigaan sebelah utara Rumah Sakit Islam (RSI) Manisrenggo di pinggir jalan Prambanan–Manisrenggo yang strategis itu bersebelahan dengan gapura selamat datang jika kita masuk desa Nangsri dari arah selatan.
Menurut salah satu situsweb lokal, monumen ini dibangun sejak tahun 2011, rampung dan diresmikan pada tahun 2012. Kabarnya pembangunan monumen tersebut menghabiskan biaya tak kurang dari Rp.20.000.000 yang berasal dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHT) dan swadaya masyarakat.
Dibangunnya monumen didasari atas keinginan mengapresiasi peran kaum tani dan desa Nangsri sebagai sentra produksi tembakau rajangan. Seniman yang dipercaya membuat monumen adalah Pengging Hadi Suwiryo dari Tlogo, Prambanan.
Mungkin terbersit pertanyaan kritis dari kita atas penggunaan DBHCHT yang kerap ditengarai lebih dimanfaatkan pada peruntukkan manasuka, bahkan tak jarang di beberapa daerah hanya menjadi bancakan golongan tertentu saja. Tentu besaran nilainya pada tiap daerah berbeda-beda.
Dan pertanyaan yang muncul kemudian kenapa (DBHCHT) ini lebih diarahkan untuk membangun monumen pencitraan, dibanding untuk meningkatkan kualitas sektor pertanian. Bukankah lebih baik diwujudkan dalam bentuk lain yang lebih memakmurkan sumber daya ketimbang pada akhirnya monumen hanya menjadi spot untuk foto-foto belaka, karena apa coba?