Komentar :
Siti Hudaiyah (30/05/2018 10:20)
Peaceful, rich of culture architectue
sambang dalan (25/04/2018 09:20)
Masjid dengan lokasi di pinggir jalan raya. Tempat parkir luas dan mudah. Toilet bersih, tempat solat bersih, model pintu dan kusen unik model Jawa, ada tulisan pakai huruf jawa.
Ariel Rahmanda (26/03/2018 01:38)
Masjid yang ada di daerah padangan kabupaten bojonegoro
#AKAtrans Blora (09/03/2018 05:13)
Anter klien #AKAtrans Blora, Sholat Jumat disini.. :)
ali baba (25/02/2018 10:30)
Masjidnya bersih, toiletnya juga bersih dan wangi...
Indra Wanto (08/02/2018 05:19)
masjid bernama Darul Muttaqin. Sekilas jika dilihat dari jalan raya memang tampak seperti masjid pada umumnya, tetapi yang berbeda adalah dengan adanya gapura masuk yang menarik. Tampak gapura dengan model bangunan tua ber tuliskan lambang bintang dan bulan, di bawahnya ada tahun 1931 dan di bawahnya ada tulisan SANGGAR PAMEODJA ENG ALAH. Masjid tersebut, merupakan bagian dari sejarah syiar Islam di Desa Kuncen, Kecamatan Padangan.
Putra dari Juru Kunci Makam Menak Anggrung dan juga salah satu penyusun buku Mbah Menak Anggrung, Perintis Islam Pertama di Desa Kuncen, Padangan-Bojonegoro, Furqon Azimi kepada blokBojonegoro menjelaskan, masjid itu dibangun pada tahun 1826 yang diprakarsai oleh Kiai Munada.
"Masjid itu dibangun bersamaan saat putra dari Mbah Kiai Munada lahir, yakni Mbah Kiai Ahmad yang pada masanya telah membabat tanah Rowobayan," ujar Furqon saat ditemui usai salat Asar di masjid tersebut.
Sebelumnya, kata Furqon, pada tahun 1825 Kiai Munada yang merupakan prajurit dari Pangeran Diponegoro asal Pendaratan, Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen tanah Bagelen, bersama dua temannya, Jokoriyo (Zakaria) dan Nur Salim melarikan diri dari kejaran Belanda hingga tiba di tanah Padangan.
Setelah beberapa waktu tinggal di Padangan, tepatnya Desa Kuncen, Kyai Munada berangan akan adanya masjid di Padangan. Sebab, sudah berpuluh-puluh tahun warga di sana apabila melaksanakan salat jumat harus ke masjid yang ada Dukuh Klotok, Desa Banjarjo, Kecamatan Padangan. Sedangkan jarak anatara desa dengan dukuh tersebut dirasa cukup jauh.
Angan dan keinginan Kiai Munada tersebut diduking oleh sebagian besar warga juga temannya, Jokoriyo. Selanjutnya, dimulai pencarian tempat untuk didirikan masjid. Setelah dirasa cocok, Kiai Munada dan Jokoriyo menemui pemilik lahan dan warga lingkungan sekitar untuk diajar rembugan rencana membangun masjid. Pada hari Kamis Kliwon, tanggal 5 Rabiul Awal tahun 1247 Hijriyah atau tahun 1826 Masehi, di masa pemerintahan Bupati Bojonegoro, R. Adipati Djojonegoro (1825-1827 dan tahun 1828 - 1844), ditetapkan bahwa di Padangan didirikan sebuah masjid.
Pada masa putra Mbah Kiai Munada, yakni Mbah Kiai Ahmad sudah menjadi mursyid atau guru Thoreqot Naqsabandiyah di Rowobayan, ada murid beliau yang memberitahukan bahwa ada kayu jati yang hanyut di Bengawan Solo, sebelah utara makam Mbah Menak Anggrung. Kayu jati itu, akhirnya dimanfaatkan untuk mengganti salah satu tiang di di masjid. Sedangkan untuk tiang lainnya, diambilkan dari hutan yang ada di Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo.
"Karena kayu yang dipilih sulit dirobohkan, dengan kelebihan yang dimiliki oleh Mbah Murtadho, kayu itu berhasil diambil dan dibawa pulang ke Padangan dengan ditarik kebo bule atau kerbau putih dengan diiringi gamelan," terang Furqon.
Pada masa pemerintahan Bupati Bojonegoro, RM Tumenggung Tirtonoto II (1878-1888), tepatnya tanggal 13 Badal Maulud 1304 Hijriyah atau tahun 1883, Masjid Padangan dibangun lagi dan diganti tiangnya yang lebih besar dengan dipimpin langsung oleh Mbah Kiai Ahmad Rowobayan.
Kemudian, di tahun 1891 masjid dibangun lagi dengan wujud bangunan dari kayu dengan panjang dan lebar 16 meter, dan diresmikan oleh Bupati Bojonegoro, Kanjeng Adipati Aryo Reksokusumo (1890-1916) yang ditandai dengan Condrosengkolo " Jalmo Nembah Sliro Tunggal".
Berbeda dengan masjid pada umumnya yang memakai simbol bulan sabit dan bintang, Masjid Padangan mempunyai kubah dengan simbol Kolok atau mahkota raja. Simbol itu menunjukkan pengaruh budaya Jawa atas bangunan Islam.
Sementara itu, gapura di pintu masuk halaman masjid, dibangun oleh Mbah Haji Khoir (saat itu bertempat tinggal di utara perempatan Padangan), merupakan fakta adanya perpaduan budaya antara seni bangunan Islam dan Cina yang kental dengan adat Jawa dengan ulisan 'SANGGAR PAMEODJA ENG ALAH' pada gapura itu. Hal itu menunjjukan, betapa beragamnya masyarakat Padangan Kala itu, namun tampak sekali kondisi beragama yang sangat rukun.
Habibi Yusuf (14/04/2017 11:12)
Imamnya joss, masjidnya bagus bermarmer, WCnya bersih
Andri Fusce (22/06/2017 05:12)
Sejuk
Noeroel Hadie (23/12/2016 10:16)
Tempat parkir lumayan luas