Komentar :
viveriko M Saman (23/05/2018 15:41)
My pension plan
Dicky Darwis (04/05/2018 06:05)
Dirty
Joel HSFCI-BENER MERIAH (06/03/2018 03:25)
Tugu RRI rimba raya adalah icon kebanggaan masyarakat Bener meriah sekaligus tempat wisata sejarah. dilokasi tersebut terdapat kursi yang mengarah ketugu maka pengunjung lebih rileks untuk melihat dan mengambil dokumentasi.
Mauli Din (19/12/2017 15:12)
Selain monumen sejarah nida untk tempat santai
Martunis (08/12/2017 17:42)
Tempat bersejarah yang patut dikenang, tetapi mohon untuk masyarakat dan pemerintah lebih giat membersihkan dan memelihara monumen bersejarah ini agar tetap bersih dan bagus
lyska coyoga (20/10/2017 09:43)
mantap untuk berfoto apalagi waktu pas sunrise, tapi kurang dirawat halaman disekitar perlu dukungan yang baik dari pemerintah setempat
SMS Video (05/04/2017 02:54)
RADIO RIMBA RAYA: MONUMEN PERS YANG TERLUPAKAN
Eksistensi Indonesia yang nyaris pudar pada tahun 1949, kembali diakui dunia internasional. Informasi suara yang disampaikan oleh insan pers melalui sebuah stasion radio bernama Radio Rimba Raya, menjadi alat bukti bagi LN Palar berbicara di Dewan Keamanan PBB bahwa “perjuangan rakyat Indonesia belum berakhir.”
Bagaimana kisahnya? Perang “udara” antara Radio Rimba Raya yang dipancarkan dari hutan Krueng Simpo Bireuen dengan stasion radio Belanda yang dipancarkan dari Medan, Batavia termasuk Radio Hilversium dari Holland, ternyata dipantau oleh DR Sudarsono, Kepala Perwakilan RI di India. Kemudian, DR Sudarsono meneruskan informasi perang “udara” itu kepada LN Palar, Kepala Perwakilan RI di PBB.
Informasi-informasi yang dipancarkan oleh Radio Rimba Raya itulah menjadi bahan LN Palar berjuang di Dewan Keamanan PBB. Informasi itu mematahkan berita hoax yang sebelumnya disebarkan oleh Radio Batavia dan Radio Hilversium. Dalam siarannya, radio itu menyatakan: perjuangan rakyat Indonesia sudah lumpuh dan para pemimpinnya sudah ditangkap.
Akibat bantahan LN Palar membuat pihak Belanda murka. Mereka mengirim pesawat tempur untuk menghancurkan perangkat radio perjuangan tersebut. Insan pers pejuang yang mengoperasionalkan radio tersebut memindahkan perangkat radio dari Kreung Simpo ke pegunungan Cot Gue Aceh Besar.
Ternyata, pihak Belanda berhasil mencium lokasi baru itu di Cot Gue. Kemudian, Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh memerintahkan supaya stasion radio tersebut dipindahkan ke pegunungan Rimba Raya di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah.
Pesawat tempur Belanda tidak dapat mendeteksi keberadaan perangkat radio itu yang disembunyikan ditengah hutan belantara. Alhasil Radio Rimba Raya dapat “mengangkasa” tanpa khawatir dibombardir oleh pesawat-pesawat Belanda. Hebatnya, insan pers pejuang itu bukan hanya “mengangkasa” dengan bahasa Indonesia, mereka juga menggunakan berbagai bahasa seperti bahasa Inggris, Urdu, Arab, Belanda, dan bahasa Cina.
“...Suara RRI pun tidak kedengaran lagi. Hanya Radio Rimba Raya ini dalam situasi transisi yang sulit itu, dapat berfungsi sebagai alat perjuangan yang mampu menyalurkan aspirasi nasional. Kefakuman itu segera dapat diisi, sehingga rakyat Indonesia tidak mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu yang menafikan perjuangan republik, baik di dalam maupun di luar negeri,” tulis AK Jakobi dalam buku Aceh Daerah Modal (1992).
Keterangan AK Jakobi tersebut bukan isapan jempol. Jenderal TNI (Purn) TB Simatupang sudah mengungkapkan terlebih dahulu dalam buku “Laporan Dari Banaran” yang diterbitkan oleh PT Pembangunan, Jakarta (1959). Disitu Simatupang mensinyalir: “Selain pemancar yang ada di Wonosari, Jawa, masih terdapat pemancar radio yang kuat di Sumatera, yaitu di Kutaradja.”
“...kalau siaran sudah sampai di Malaya, itu berarti pesan-pesan telah menyebar ke seluruh dunia,” ungkap Bustanil Arifin, salah seorang pelaku sejarah dalam Perang Kemerdekaan di Aceh, sebagaimana ditulis dalam buku Aceh Daerah Modal.
Selain itu, dengan bantuan radio tersebut, para pejuang di Aceh dapat menjalin komunikasi dengan pimpinan pusat perjuangan gerilya disekitar pedalaman Yogyakarta dan Surakarta.
Tukar menukar informasi antar insan pers radio itu memberi manfaat luar biasa bagi perjuangan menegakkan Republik Indonesia. Buktinya, ketika radio republik yang beroperasi di hutan Surakarta menyiarkan informasi Serangan Umum 1 Maret 1949, siarannya terpantau oleh Radio Rimba Raya.
“Berita yang menghebohkan politisi dunia di PBB itu berbunyi: Tanggal 1 Maret 1949 pasukan TNI yang dipimpin Letkol Soeharto telah menyerang dan berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam,” tulis AK Jakobi.
Berita hoax pihak Belanda yang menyatakan perjuangan RI sudah lumpuh dan para pemimpinnya sudah ditangkap, serta merta terbantahkan. Didasarkan informasi yang disiarkan insan pers Radio Rimba Raya tadi, ditambah perjuangan gigih para diplomat RI di luar negeri, akhirnya Dewan Keamanan PBB mengeluarkan instruksi pertama: gencatan senjata.
Teuku Usman (16/09/2017 07:04)
Radio Rimba Raya sangat berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia
Hadhara Rizka (17/04/2017 17:06)
Tugu Rimba Raya Salah Satu Sejarah Penting Bagi kemerdekaan RI.
Syukri Muhammad Syukri (05/04/2017 02:54)
RADIO RIMBA RAYA: MONUMEN PERS YANG TERLUPAKAN
Eksistensi Indonesia yang nyaris pudar pada tahun 1949, kembali diakui dunia internasional. Informasi suara yang disampaikan oleh insan pers melalui sebuah stasion radio bernama Radio Rimba Raya, menjadi alat bukti bagi LN Palar berbicara di Dewan Keamanan PBB bahwa “perjuangan rakyat Indonesia belum berakhir.”
Bagaimana kisahnya? Perang “udara” antara Radio Rimba Raya yang dipancarkan dari hutan Krueng Simpo Bireuen dengan stasion radio Belanda yang dipancarkan dari Medan, Batavia termasuk Radio Hilversium dari Holland, ternyata dipantau oleh DR Sudarsono, Kepala Perwakilan RI di India. Kemudian, DR Sudarsono meneruskan informasi perang “udara” itu kepada LN Palar, Kepala Perwakilan RI di PBB.
Informasi-informasi yang dipancarkan oleh Radio Rimba Raya itulah menjadi bahan LN Palar berjuang di Dewan Keamanan PBB. Informasi itu mematahkan berita hoax yang sebelumnya disebarkan oleh Radio Batavia dan Radio Hilversium. Dalam siarannya, radio itu menyatakan: perjuangan rakyat Indonesia sudah lumpuh dan para pemimpinnya sudah ditangkap.
Akibat bantahan LN Palar membuat pihak Belanda murka. Mereka mengirim pesawat tempur untuk menghancurkan perangkat radio perjuangan tersebut. Insan pers pejuang yang mengoperasionalkan radio tersebut memindahkan perangkat radio dari Kreung Simpo ke pegunungan Cot Gue Aceh Besar.
Ternyata, pihak Belanda berhasil mencium lokasi baru itu di Cot Gue. Kemudian, Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh memerintahkan supaya stasion radio tersebut dipindahkan ke pegunungan Rimba Raya di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah.
Pesawat tempur Belanda tidak dapat mendeteksi keberadaan perangkat radio itu yang disembunyikan ditengah hutan belantara. Alhasil Radio Rimba Raya dapat “mengangkasa” tanpa khawatir dibombardir oleh pesawat-pesawat Belanda. Hebatnya, insan pers pejuang itu bukan hanya “mengangkasa” dengan bahasa Indonesia, mereka juga menggunakan berbagai bahasa seperti bahasa Inggris, Urdu, Arab, Belanda, dan bahasa Cina.
“...Suara RRI pun tidak kedengaran lagi. Hanya Radio Rimba Raya ini dalam situasi transisi yang sulit itu, dapat berfungsi sebagai alat perjuangan yang mampu menyalurkan aspirasi nasional. Kefakuman itu segera dapat diisi, sehingga rakyat Indonesia tidak mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu yang menafikan perjuangan republik, baik di dalam maupun di luar negeri,” tulis AK Jakobi dalam buku Aceh Daerah Modal (1992).
Keterangan AK Jakobi tersebut bukan isapan jempol. Jenderal TNI (Purn) TB Simatupang sudah mengungkapkan terlebih dahulu dalam buku “Laporan Dari Banaran” yang diterbitkan oleh PT Pembangunan, Jakarta (1959). Disitu Simatupang mensinyalir: “Selain pemancar yang ada di Wonosari, Jawa, masih terdapat pemancar radio yang kuat di Sumatera, yaitu di Kutaradja.”
“...kalau siaran sudah sampai di Malaya, itu berarti pesan-pesan telah menyebar ke seluruh dunia,” ungkap Bustanil Arifin, salah seorang pelaku sejarah dalam Perang Kemerdekaan di Aceh, sebagaimana ditulis dalam buku Aceh Daerah Modal.
Selain itu, dengan bantuan radio tersebut, para pejuang di Aceh dapat menjalin komunikasi dengan pimpinan pusat perjuangan gerilya disekitar pedalaman Yogyakarta dan Surakarta.
Tukar menukar informasi antar insan pers radio itu memberi manfaat luar biasa bagi perjuangan menegakkan Republik Indonesia. Buktinya, ketika radio republik yang beroperasi di hutan Surakarta menyiarkan informasi Serangan Umum 1 Maret 1949, siarannya terpantau oleh Radio Rimba Raya.
“Berita yang menghebohkan politisi dunia di PBB itu berbunyi: Tanggal 1 Maret 1949 pasukan TNI yang dipimpin Letkol Soeharto telah menyerang dan berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam,” tulis AK Jakobi.
Berita hoax pihak Belanda yang menyatakan perjuangan RI sudah lumpuh dan para pemimpinnya sudah ditangkap, serta merta terbantahkan. Didasarkan informasi yang disiarkan insan pers Radio Rimba Raya tadi, ditambah perjuangan gigih para diplomat RI di luar negeri, akhirnya Dewan Keamanan PBB mengeluarkan instruksi pertama: gencatan senjata.
Ikhfan Dj (13/03/2017 08:36)
Tugu peringatan radio rimba raya yang sangat berjasa untuk mempertahankankemerdekaan indonesia