Komunitas Bambu

Kami adalah penerbit buku-buku sejarah nasional berkualitas. Jangan pernah lupakan sejarah, karena kelak kita akan jadi salah satu bagian darinya.

Dari 20 Mei 1908, kami ambil apinya. Saat itu 20 Mei 1998. Seperti pemuda di tahun 1908, di tahun yang menentukan dan hiruk pikuk kami sejumlah mahasiswa dari lingkungan Fakultas Sastra UI Depok telah memilih jalan kebudayaan. Sampai kini, setelah lebih 10 tahun, kami masih membiarkan diri terbakar apinya, yaitu api semangat "Gali dan Kenali Bangsa".
Caranya menerbitkan buku-buku bertema ilmu pengetahuan budaya dan humaniora. Sepuluh tahun lebih menjalani ujian api memang bukan hal mudah, tetapi sepuluh tahun dibakar apinya, disengat baranya dan dikelilingi orang-orang yang datang berdiang di sekitarnya telah mengajarkan banyak hal agar bagaimanapun kami mesti berupaya bertahan.

Sebab dengan demikian maka kita semua telah tidak membiarkan bangsa ini menjadi sejenis bangsa kepinding yang gemar hidup bergelap-gelap.

Mengapa Komunitas Bambu?
Soal ini bisa dilongok dalam tiga sudut. Pertama sudut historis. Komunitas Bambu itu berdiri dan berdomisili di Depok. Sebab brojol dari lingkungan mahasiswa Fakultas Sastra UI, Depok.
Depok tempo doeloe adalah suatu kawasan konservatorium bambu. Ada ratusan jenis bambu tumbuh dan dikembangkan di Depok, sampai jaman Jepang masih cukup terjaga pepohonan bambu itu. Bahkan sampai tahun 1980-an warga Depok masih menjadi pemasok bambu untuk Jakarta yang diangkut dengan cara dihanyutkan menggunakan getek lewat Ciliwung. Sekarang, bambu-bambu tinggal sisa-sisa saja dan sedikit jenis serta rimbunannya masih bertahan di sekitar Depok Lama. Begitulah mengapa kami mencomot bambu sebagai nama, sebuah upaya supaya "jangan kacang lupa kulitnya".

Kedua, sudut filosofis. Kami pikir pohon bambu adalah perumpamaan yang mengandung banyak nilai filosofis. Ia adalah simbol hidup yang bermanfaat sebab pada dirinya terdapat bagian-bagian yang berguna bagi banyak orang. Pohon bambu adalah simbol kolektivisme atau kebersamaan sebab ia tumbuh secara berumpun. Dari bentuknya yang merupakan batang menjulang yang lentur sehingga mampu mengimbangi arus angin, tetapi tanpa harus tercerabut dari akarnya, adalah suatu filosofi akan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan tantangan serta kondisi tanpa harus kehilangan kedirian.

Ketiga, sudut mistis. Orang-orang tua tempo doeloe, sebelum listerik merangsek masuk dan menerangai sudut-sudut tergelap, percaya bahwa rumpun pohon bambu yang adem adalah tempat yang paling disenangi segala jenis setan untuk berkumpul. Kalau begitu orang-orang komunitas bambu setan semua? Ya, hampir betul. Tepatnya kami itu orang-orang yang kesetanan, kesurupan dan jadi khilaf karena mau menekuni dunia penerbitan buku-buku tema budaya dan humaniora yang berada jauh dari alam pikiran masyarakat dan pemerintah Indonesia, sehingga bukan saja tidak layak dari segi bisnis juga dianggap melakukan sesuatu yang belum waktunya, kebodohan saja.